Mahasiswa Ph.D (Lelaki vs Wanita)

Beberapa hari yang lalu saya ketemu dengan seorang teman yang sama-sama mengembara ke Pulau Formosa demi selembar ijasah dan segebok ilmu (hallllah). Sebut saja namanya Bunga (red, bukan nama sebenarnya). Kami ngobrol panjang lebar tinggi dan meluber kemana-mana. Ada sebuah obrolan yang membuat saya baru sadar dengan realita di lapangan. Padahal saya sering mendapat perlakuan seperti itu. Mungkin itulah bedanya orang Computer Science dengan orang Sosial. Daya analisis tentang kehidupan sosialnya sangat timpang.

Teman perempuan saya tadi (Si Bunga) bilang: "Mbak, kenapa ya kalau cowok+single+mahasiswa PhD pasti akan dianggap WoW, dianggap luar biasa dan akan dielu-elukan lawan jenis. Coba bandingkan dengan cewek+single+mahasiswa PhD. Dia akan dipandang sebelah mata, dicibir, dan akan dpt omongan: hati-hati nanti lelaki akan takut dekati kamu"

Saya 100% membenarkan quote dari teman saya, karena itu yang terjadi di depan saya. Mungkin saat perkenalan pertama, orang akan nanya: "mahasiswa tingkat apa mbak?"
  "S3," jawabku.
  Mereka akan berdecak kagum: "Wah, hebat!"
  Mereka akan melanjutkan pertanyaannya: "Umur berapa? Sudah menikah?"
  Saya menjawab: "Lebih dari 25 tahun. Saya belum menikah."
  80% dari para penanya itu akan mengubah mimik muka mereka 180 derajat dan akan bilang:
  "Jangan terlalu tinggi sekolahnya. Nanti para lelaki akan takut mendekati."

Hanya orang-orang tertentu yang sadar pentingnya peranan wanita dan pendidikan dalam keluarga akan tetap mempertahankan mimik muka mereka.

Saya juga tidak menyalahkan orang-orang berpikir demikian karena memang itu yang terjadi di lapangan.


Dear lelaki di luar sana, sebesar itukah ego kalian?
Ego untuk tidak mau disaingi oleh wanita
Ego untuk selalu tampak unggul di depan wanita
Ego untuk menjadi kepala keluarga yang ingin selalu menang

Guru ngaji saya (pakar Filsafat Islam) pernah berpesan: "Ikutilah falsafah tubuh. Tubuh disusun dengan urutan: kepala, perut, dan (maaf) kemaluan. Artinya, carilah ilmu (sekolah), carilah uang untuk kebutuhan perut (bekerja), kemudian penuhi kebutuhan biologis (menikah)."

Memang, menikah itu akan menyempurnakan separuh agama (dan separuhnya lagi adalah ketakwaan kepada Allah). Takwa itu melakukan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Salah satu perintah Allah adalah mencari ilmu. Ya kan? Ya kan? Ah sudahlah,,,panjang urusannya kalau bawa-bawa ayat Allah. Saya bukan ahli tafsir.

Sebagai wanita normal, saya juga ingin menikah. Hanya saja, saya yang paling tahu keadaan diri saya. Kapan saya akan mengetuk palu untuk itu. :D

Dear lelaki di luar sana yang bersedia menjadi suamiku kelak.
Terima kasih telah meredam keegoanmu
Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk menambah jumlah muslimah berpendidikan
Terima kasih telah membiarkanku memperjuangkan selembar ijasah PhD untuk orang tuaku
Terima kasih telah memilihku 



ditulis dalam suasana galau menyambut 2nd Qualify Exam semester depan